|
Menu Close Menu

Toa dan Kehambaan Kita

Sabtu, 26 Februari 2022 | 21.29 WIB

 

Masmuni Mahatma, Ketua PW Ansor Babel. (Dok/Istimewa).

Oleh Masmuni Mahatma

Lensajatim.id, Opini-Kalau dilihat secara datar, toa itu tak ada di zaman Nabi Muhammad Saw. Dan apa yang tidak ada di era Nabi, sebagian penganut agama (Islam), menyatakan "bid'ah". Karena diposisikan bid'ah, mungkin tak beda jauh dengan pemosisian beberapa tradisi lokal dan kearifan adat istiadat yang oleh kaum tertentu juga dianggap bid'ah. Anehnya, toa malah dianggap lebih urgen daripada adzan. Media diklaim layak didahulukan ketimbang rukun. Ini perlu dicermati dan dibaca sebaik mungkin. 


Toa, adalah merek dagang dari salah satu perusahaan Jepang. Di lingkungan kita, masyarakat dulu mengenal toa sebagai pendukung tekanan suara, atau familiar  dengan sebutan "pengeras suara." Toa ini, setidaknya akrab di tengah masyarakat Indonesia sedari tahun 1930an. Kisaran tahun 1930-1970an, kehadiran toa mengikutsertakan polemik. Ada yang menyatakan boleh, mubah, dan haram menggunakannya di masjid serta musolla. Seiring dinamika dan lompatan budaya yang kian "kaya model", hukum pemakaian toa seakan tak dipersoalkan lagi. Perlahan dinikmati, diakrabi, dan dianggap bagian dari pemompaan kemajuan peradaban keberagamaan. Meski di sisi lain, toa pun sering dipakai para demonstran. Toa, benar-benar menggoda dan ikut mengubah tradisi serta paradigma keberagamaan. Toa, seperti jadi salah satu media (pemandu) komunikasi sosial masyarakat dalam hal tertentu. Dalam konteks ini, tak ada yang memungkiri.


Pengaturan pemakaian toa oleh negara di lingkungan tempat ibadah, sudah ada sejak tahun 70an. SE 05 Tahun 2022 yang ditandatangi Gus Yaqut selaku Menteri Agama RI, jelas bukan hal baru. Karena dipahami parsialistik ketika memberikan perumpaan terkait pemakaian toa, lalu dipelintir, diviralkan, tak ayal hujatan datang bertubi. Toa kembali jadi primadona, seakan menjadi "rukun" bukan lagi media syiar. Seolah mewujud "syarat utama" ketimbang pengembangan modernisasi alat bantu suara. Dari sini, perlu pelurusan kolektif, baik secara maknawi teoritis, maknawi praktis, maupun maknawi esensialistik. 


Tuhan itu sangat dekat dengan kita. Lebih dekat dari urat nadi. "Aqrabu min hablil warid." Tak ada yang membantah. Karena Allah itu sangat dekat, kenapa kita mesti memakai toa untuk memanggil-Nya? Bukankah Allah sangat mendengar "kreteg" atau "bisikan" hati kita? Di sini butuh kejernihan logika berhamba. Toa atau yang sejenis, itu hanya media, bukan hakikat tujuan beribadah. Meributkan pemakaian toa, atau pengurangan volume toa saat dipakai, kurang aktual. Terlebih kalau dikembalikan pada kearifan dalam berhamba sekaligus beribadah. Allah, sangat takjub kepada hamba yang menyapa serta menemuiNya di malam hari kala makhluk lain kebanyakan terlelap tidur. Itulah saat terbaik bagi diri mencumbuNya. Itulah bukti bahwa keteduhan, kehangatan, dan kemesraan personalitas beribadah, adalah hal yang disukai Allah. 


SE 05 tahun 2022 dan uraian Gus Yaqut saat ditanya wartawan di Riau, hanya hendak mengembalikan pemakaian toa pada ruang yang lebih humanistik dan empatik. Yakni, mengedepankan maknawi esensial daripada sekadar memenuhi modernisasi alat syiar. Disini realitas dan kualitas iman selaku hamba teruji, teraktualisasi berbasis kesadaran keilahian, bukan semata pelaksanaan ritual atasnama kewajiban. Di sini kehangatan dan kekhusyu'an mencumbu Tuhan tampak layak diutamakan. Benarlah kata Jeihan Sukmantoro, "pengantar terbaik adalah iman diri sendiri." 


Bahwa keberadaan toa punya nilai untuk memompa kesadaran iman tiap hamba, kita mafhumi. Itu merupakan cara pandang yang tak bisa dikooptasi. Namun, pengurangan volume yang diatur dalam SE 05 Tahun 2022, kurang elok juga kalau dianggap tidak memiliki substansi. Apalagi sekira dianggap sebagai aturan yang mempersempit syiar keberagamaan. Patut disadari, kehangatan dan kehusyu'an beribadah, disamping terpulang pada kualitas iman, terkait pula atas pembawaan hati di hadapan Allah. Oleh karena itu, mari tetap tempatkan toa sebagaimana toa, sekadar modernisasi alat bantu suara. Dan kita tingkatkan kehangatan imani semaksimal mungkin melalui kematangan hati itu sendiri. Sebab Tuhan hanya melihat kepada hati dan perbuatan kita. "Yanduru ila qulubikum wa a'malikum."


(* Penulis adalah Dosen Filsafat UIN SGD Bandung sekaligus Ketua PW GP Ansor Babel 

Bagikan:

Komentar